alt text

Jurnal Ilmiah

List Publikasi Ilmiah Penulis dalam bentuk Jurnal Ilmiah Nasional Terindex SINTA Maupun Jurnal Internasional Q1-Q4 Terindex Scopus

Jurnal Ilmiah
alt text

Prosiding

List Publikasi Ilmiah Penulis dalam bentuk Prosiding Ilmiah dalam Seminar Nasional maupun Seminar Internasional

Prosiding
alt text

Kekayaan Intelektual

List Hasil Kekayaan Intelektual Paten Penulis baik itu berupa Paten Granted maupun Paten Terdaftar

Paten
alt text

Kultur Jaringan Tanaman

Artikel Penulis yang membahas tentang Kultur Jaringan Tanaman, Aplikasi, Media, Zat Pengtaur Tumbuh dll

Kultur Jaringan Tanaman
alt text

Review

Review Penulis tentang buku, karya tulis ilmiah jurnal, prosiding maupun produk hasil karya orang lain

Review
alt text

Science dan Teknologi

Artikel Penulis yang membahas tentang perkembangan terkini di bidang science dan teknologi secara umum

Science dan Teknologi
alt text

Wisdom and Inspiration

Artikel Penulis yang membahas tentang nilai-nilai Kebijaksanaan, Motivasi, Moral, Agama, Kesabaran dan Inspirasi

Wisdom and Inspiration
alt text

Investasi Saham

Artikel Penulis yang membahas tentang Investasi Saham, literasi finansial, Analisis Fundamental, Analisis Teknikal dan Trading system

Investasi Saham

Artikel Terpopuler

Antara Usaha Warteg dan Tukang Parkir, Mana Yang Lebih Menguntungkan?

  • Tuesday, June 10, 2025
  • by
  • Di negeri +62 ini, keajaiban bukan cuma ada di sinetron atau iklan sirup marjan. Di depan warteg, hal-hal tak lazim kerap terjadi tiap hari. Bayangkan: pemilik warteg yang mesti bangun jam 4 pagi (subuh), muka masih kucel & masih nempel bantal, harus langsung meluncur ke pasar demi dapet cabe rawit segar yang harganya kayak harga saham gorengan & koin crypto micin -naik turun ndak karuan-.

    Sesampainya di rumah, si ibu warteg belum sempat leyeh-leyeh ngopi, langsung harus goreng tempe, tumis kangkung, nyiapin ayam kecap, dan ngepel lantai sambil mikirin harga gas elpiji yang mulai langka. Semua itu demi dapetin cuan yang hanya Rp 500 perak dari sepotong gorengan yang dia jual. Itu pun belum termasuk risiko gorengan gak laku, atau pelanggan cuma pesen nasi doing tanpa lauk.

    Tapi, di pojokan warteg, duduklah dia: Sang Tukang Parkir. Tanpa harus menggoreng, tanpa harus menumis, tanpa harus kecipratan minyak goring panas. Cuma bermodal rompi neon, kursi plastik, dan gesture tangan penuh wibawa: “Minggir dikit, Bang… dikit lagi… nah pas!” Lalu “prak!” tangan kanan minta Rp 2.000

    Bro… dari mana rumus ekonomi ini berasal?

    Si ibu warteg ngitung tiap sendok sayur biar pas margin-nya. Sementara si tukang parkir, dalam hitungan menit, bisa dapet cuan 4x lipat dari gorengan Ibu warteg. Kalau diseriusin, ini udah kayak perbandingan antara nelayan yang mancing seharian dapet dua ikan, sama orang yang tinggal ambil ikan di pelelangan ikan pinggir pantai.

    Dan yang lebih ngenes lagi, semua ketidakadilan ini diterima begitu saja oleh masyarakat dengan penuh legowo. Gak ada yang demo, gak ada yang nuntut audit rompi tukang parkir. Malah kadang pelanggan lebih takut sama tukang parkir daripada sama satpam BCA, karena saking galaknya.

    Sehingga kemudian timbul pertanyaan di benak saya, kira-kira “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” itu, letaknya di mana ya? Apakah di belakang warteg? Di balik etalase gorengan? Atau masih ngantri di kantor kelurahan?

    Tapi ya sudahlah, beginilah hidup di negeri penuh kreatifitas. Kadang kita kerja keras, kadang kita kerja cerdas, kadang kita cuma butuh... parkir.

    Yang penting, jangan lupa bayar gorengan. Dan jangan lupa bayar tukang parkir seikhlasnya walaupun sulit banget untuk ikhlas. Tapi plis, minimal senyumin juga si Ibu warteg. Soalnya dia yang bikin kamu tetap bisa makan murah, kenyang, dan penuh rasa... meski belum tentu ada “Keadilan”.

    Artikel Selengkapnya...

    Politik dan Panggung Kehidupan: Ketika Politisi Berperan Sebagai Aktor

  • by
  • Ada satu hal yang sering kali luput dari kesadaran publik, bahkan dalam masyarakat yang mengaku melek politik sekalipun, bahwa sebagian besar politisi pada hakikatnya adalah seorang Aktor”. Mereka tampil di hadapan publik tidak hanya sebagai politisi, tetapi juga sebagai figur yang membangun narasi, memainkan emosi, dan mempersonifikasi harapan rakyat. Politik bukan hanya tentang kebijakan dan ideologi; ia juga tentang pertunjukan. Ada aktor yang begitu meyakinkan, begitu otentik, sehingga seolah-olah pantas mendapatkan penghargaan setingkat Oscar. Ada pula aktor yang terlihat setengah hati dalam memainkan perannya, sehingga nampak canggung, dan mudah terbaca topengnya, aktor yang kedua memainkan peran secara medioker.

    Sejak era digital mengubah wajah politik pada pertengahan abad ke-20, Pencitraantelah menjadi unsur penting dalam dunia politik. Seperti dalam debat calon presiden AS -Richard Nixon vs. John F. Kennedy -tahun 1960. Warga Amerika yang menonton debat lewat televisi merasa bahwa JF. Kennedy "telah menang" karena penampilannya yang terlihat meyakinkan dan penuh percaya diri, sedangkan Nixon tampak lesu, grogi dan berkeringat. Padahal isi argumen mereka nyaris sama. Peristiwa ini menjadi awal dari era politik modern di mana estetika dan retorika sering mengalahkan substansi.

    Politisi -sadar atau tidak- mulai menyesuaikan diri dengan dunia yang menuntut mereka menjadi "persona publik" yang menarik. Mereka mulai menyewa konsultan media, belajar cara public speaking, serta teknik untuk membaca bahasa tubuh dari lawan bicaranya. Mereka belajar bagaimana menangis di waktu yang tepat, tersenyum di tengah cobaan, dan menyentuh bahu rakyat kecil saat kamera sedang merekam.

    Ini bukan teori konspirasi, melainkan realitas dalam politik kontemporer. Seperti yang disampaikan oleh sejarawan politik Christopher Lasch dalam The Culture of Narcissism (1979), politisi modern bukan lagi pemimpin substantif, melainkan tokoh publik yang piawai membangun citra. Mereka tidak memimpin dari keyakinan, melainkan dari persepsi. Lasch bahkan menyebut mereka sebagai "performers in the age of narcissism."

    Kita bisa melihat jejak narasi ini dalam berbagai peristiwa sejarah dunia. Contohnya, Benito Mussolini di Italia, seorang mantan jurnalis dan orator ulung, yang membangun citra "Manusia Super" melalui teatrikalitas yang dramatis. Atau Joseph Stalin, yang awalnya tampak sebagai pemersatu bangsa, namun lambat laun membuka topengnya sebagai diktator brutal. Bahkan tokoh seperti Aung San Suu Kyi yang dulu dipuja sebagai simbol demokrasi, belakangan mendapat kritik keras karena sikap diamnya terhadap krisis Rohingya. Semua ini menunjukkan bahwa figur bisa berubah. Topeng bisa terbuka. Sejarah penuh dengan contoh semacam ini.

    Oleh karena itu, adalah wajar dan sehat jika kita menyisakan ruang untuk skeptis terhadap para politisi. Skeptisisme bukanlah sinisme. Ia bukan berarti membenci semua tokoh atau mencurigai setiap langkah mereka. Skeptisisme adalah bentuk kedewasaan berpolitik—kesadaran bahwa loyalitas seharusnya ditujukan pada nilai (value), bukan pada figur (personality). Karena nilai adalah kompas moral yang relatif stabil, sedangkan figur bisa berubah oleh waktu, godaan kekuasaan, atau kelemahan lain yang sersifat manusiawi.

    Terkait dengan hal ini, George Orwell dalam novelnya Animal Farm (1945) pernah mengatakan: “All animals are equal, but some animals are more equal than others.” Politik, ketika dijalankan tanpa kontrol publik dan kesadaran nilai, mudah berubah menjadi panggung manipulasi. Figur yang semula dielu-elukan bisa menjadi simbol tirani. Yang terlihat jujur hari ini, bisa terbukti korup di esok hari.

    Memahami politisi sebagai aktor bukan berarti menafikan peran penting mereka dalam demokrasi. Namun, pemahaman ini membantu kita menjaga jarak kritis dan menahan diri dari pengkultusan individu. Kita perlu menyadari bahwa politik adalah ranah penuh kepentingan, pencitraan, dan permainan persepsi. Dalam lanskap seperti ini, hanya nilai “value” yang layak kita pertahankan secara loyal.

    Tetaplah mencintai keadilan, memperjuangkan kebenaran, dan bersuara untuk keadaban. Tapi jangan pernah menggantungkan harapan secara total pada figur mana pun. Karena sebagaimana sejarah telah berkali-kali mengajarkan kita: wajah-wajah politik bisa berubah, tapi nilai adalah satu-satunya jangkar yang akan tetap menuntun kita.

    Wallahu a’lam.
    Artikel Selengkapnya...

    Kekuatan Sebuah Konsistensi: Dari Satu Paragraf Menuju Sebuah Karya Tulis Ilmiah

  • Monday, June 9, 2025
  • by
  • Setiap orang yang pernah memulai perjalanan menulis, meneliti, atau mengejar karir akademik pasti pernah merasa insecured yang diakibatkan karena besarnya tujuan akhir yang ingin dicapai yakni menyelesaikan sebuah paper, tesis, atau bahkan buku atau karya tulis ilmiah. Namun, ada hal sederhana yang perlu untuk terus kita ingat yakni konsistensi kecil dapat menghasilkan dampak besar.

    Secara perhitungan matematis: 1.01^365 = 37.783. Angka ini bukan sekadar perhitungan, melainkan simbol sebuah kekuatan persistensi yakni peningkatan kecil yang terus terakumulasi setiap hari. Jika kita menaikkan usaha 1% saja setiap hari, maka dalam waktu satu tahun kita akan mendapatkan hasil 37 kali lipat lebih baik dibandingkan saat kita memulai sesuatu. Sebaliknya, jika kita tidak melakukan apa-apa, atau malah sedikit demi sedikit mundur dan inkonsisten, hasil akhirnya bisa sangat jauh dari yang kita harapkan.


    Dapat kita bayangkan, jika seandainya kita dapat menulis satu paragraf saja per hari. Tidak perlu kalimat yang sempurna. Tidak perlu panjang. Hanya satu paragraf saja. Maka dalam satu tahun, kita akan memiliki lebih dari 365 paragraf—jumlah yang cukup untuk menghasilkan lebih dari satu karya tulis ilmiah. Bahkan jika sebagian besar dari paragraf-paragraf itu nantinya perlu diedit ulang, kita tetap sudah punya “bahan mentah” untuk kemudian dipoles dan diperbaiki. Dibandingkan hanya dengan menunggu “inspirasi” atau adanya momen "good mood" untuk memulai menulis, tindakan kecil ini apabila dilakukan setiap hari akan jauh lebih berharga.


    Pelajaran yang dapat kita petik dari “profound quote” ini adalah: kemajuan kecil lebih baik daripada tidak ada kemajuan sama sekali. Dalam dunia akademis, di mana pressure/ tekanan dan beban kerja sering kali membuat kita menunda untuk menulis, maka filosofi "satu paragraf sehari" adalah bentuk perlawanan terhadap rasa malas dan sikap perfeksionisme yang dapat melumpuhkan kreatifitas. Seneca, pernah mengatakan: "While we wait for life, life passes." ketika kita menunggu waktu ideal untuk mulai, maka kesempatan pun akan berlalu.


    Maka, mari kita mulai hari ini, bukan besok, bukan minggu depan. Tulislah satu paragraf. Catat satu ide. Baca satu halaman. Jadikan itu kebiasaan. Karena pada akhirnya, keberhasilan bukan milik mereka yang bergerak cepat sesekali, tetapi milik mereka yang melangkah kecil namun konsisten setiap hari.


    Seperti kata yang tertera dalam ilustrasi gambar di atas: Be persistent. Jadilah pribadi yang gigih. Karena dari kegigihan itulah, InsyaAllah akan lahir karya-karya besar.

     

    Artikel Selengkapnya...

    Jangan Remehkan Hutang: Amanah Dunia, Beban Akhirat

  • by
  •  
    Tahukah Anda bahwa ayat terpanjang dalam Al-Qur'an bukan berbicara tentang shalat, puasa, jihad, atau zakat? Ayat terpanjang itu justru membahas tentang hutang piutang. Ya, benar. Surat Al-Baqarah ayat 282 adalah ayat terpanjang dalam mushaf Al-Quran, dan secara luar biasa ia membahas detil demi detil transaksi hutang: tulislah, saksikanlah, jujurlah, amanahlah.

    Ini bukan sekadar pesan ekonomi, ini adalah pesan keadilan sosial dan tanggung jawab moral. Allah yang Maha Mengetahui meletakkan urgensi persoalan hutang pada tempat yang sangat tinggi. Bukan tanpa sebab. Hutang adalah ujian akhlak, dan sering kali menjadi sumber keretakan hubungan persaudaraan, kerusakan masyarakat, bahkan akhirat seseorang.


    Lebih mengejutkan lagi, Rasulullah ﷺ menyampaikan bahwa orang yang terbunuh di medan jihad—yang darahnya tumpah demi agama—tidak serta-merta mendapatkan status syahid jika ia masih meninggalkan hutang yang belum diselesaikan. “Seluruh dosa orang yang mati syahid akan diampuni kecuali hutang.” (HR. Muslim)


    Maka pertanyaannya: mengapa ada sebagian orang, bahkan tokoh agama yang kita pandang sebagai ustadz dan panutan umat, begitu meremehkan urusan hutang? Bahkan dengan entengnya berkata, "Itu hanya masalah duniawi, masalah hutang,...ngemplang, jadi tidak perlu untuk dibesar-besarkan"


    Masalah duniawi? Jika memang demikian, mengapa Allah harus turunkan satu ayat terpanjang hanya untuk perkara duniawi? Mengapa Rasulullah sampai enggan menyolatkan jenazah orang yang masih menanggung hutang, jika tidak ada dimensi akhirat di dalamnya?


    Di sinilah letak keprihatinan. Ketika orang awam tidak tahu, mungkin bisa dimaklumi. Tapi ketika seorang ustadz—yang setiap kata dan geraknya menjadi contoh, bahkan rujukan umat—meremehkan hal sebesar ini, maka itu adalah sebuah petaka dan krisis. Krisis keilmuan? Krisis kejujuran? Atau krisis akhlak?


    Perkataan seperti itu bukan saja mencederai ajaran Islam, tapi juga bisa menjadi pembenaran bagi orang-orang yang memang punya kecenderungan untuk lari dari tanggung jawab. Orang yang memang berniat ngemplang, bisa dengan mudah berkata: “Ah, itu kan cuma masalah duniawi.”


    Padahal dalam Islam, tanggung jawab dunia justru yang akan menentukan nasib akhirat. Apakah tidak takut bahwa ucapan yang menyepelekan bisa membuat umat terbiasa menggampangkan amanah?


    Sudah saatnya kita kembali menempatkan nilai-nilai Al-Qur'an pada posisi tertingginya. Bukan hanya dalam ibadah, tapi juga dalam muamalah. Dan sudah seharusnya para tokoh agama berhati-hati dalam berbicara, karena satu kalimat bisa jadi pembenaran bagi ribuan kesalahan.


    Islam mengajarkan kita kejujuran, tanggung jawab, dan keadilan—termasuk dalam hal hutang piutang. Jangan sampai, hanya karena satu komentar tak bertanggung jawab, kita menjadi umat yang membenarkan kelalaian, bahkan pengkhianatan, dengan label "itu cuma masalah duniawi."

     

     

    Artikel Selengkapnya...

    Hakikat Tumbuh: Bukan Soal Tempat, Tapi Keberanian

  • Sunday, June 8, 2025
  • by
  • Ada yang bilang, “Semakin tinggi pohon, maka anginnya semakin kencang.” Pernyataan itu sering muncul sebagai pengingat bahwa semakin seseorang menonjol, semakin besar pula tantangan, tekanan, dan ujian yang akan ia hadapi. Iya, betul. Tapi, mari kita lihat dari sudut pandang lain—jika terus berada di bawah, terlindung dari segala terpaan, bisa jadi kita justru tak pernah tumbuh sebagaimana mestinya.

    Pohon yang terlalu lama hidup di bawah bayang-bayang, tanpa cukup sinar matahari, akan mengalami etiolasi—tumbuh tinggi kurus, lemah, pucat, dan rapuh. Dalam dunia tumbuhan, ini adalah pertanda bahwa sesuatu berjalan tidak semestinya. Dalam kehidupan manusia, etiolasi bisa menyerupai hidup dalam zona nyaman: aman, tak terlihat, tak terdengar, tapi juga tak berkembang. Takut mencoba, takut gagal, takut salah—hingga akhirnya justru dilangkahi, dilewati, bahkan diinjak-injak oleh mereka yang berani menantang angin.


    Hidup bukan soal ingin di atas atau di bawah. Bukan pula soal siapa yang lebih berani atau lebih diam. Tapi hidup adalah soal keberanian untuk memilih—dan menerima konsekuensi dari pilihan itu. Karena, benar adanya, setiap posisi punya risikonya masing-masing. Di atas, kau diuji oleh badai, disorot, dinilai, bahkan mungkin dijatuhkan. Tapi di bawah pun bukan tempat yang bebas dari risiko. Kegelapan, stagnasi, dan kerentanan pada nasib juga siap mengintai kapan saja.


    Ini tentang kita—tentang manusia dan pilihan untuk tumbuh. Kita bisa memilih menjadi tinggi dan menghadapi angin, atau tetap di bawah dan berharap tak tertimpa apa-apa. Tapi, kalau pertumbuhan sejati adalah tujuan, maka sedikit goyangan angin semestinya bukan alasan untuk berhenti naik. Karena justru dalam terpaan itulah, akar kita menguat. Dalam cahaya yang menyilaukan itu, kita belajar melihat lebih jelas. Dan dalam keberanian untuk tampak, kita menemukan makna dari eksistensi kita.


    Setiap orang punya jalan masing-masing. Tak semua harus menjadi pohon tertinggi. Tapi jika terus bersembunyi di tanah lembap yang tak tersentuh cahaya, jangan heran jika suatu hari kita tak tumbuh sama sekali. Dan lebih buruk lagi, mungkin kita bahkan tak pernah benar-benar hidup.


    Artikel Selengkapnya...

    Inflasi Gelar Profesor: Mitos atau Kesalahpahaman?

  • Saturday, June 7, 2025
  • by
  • Belakangan ini, opini publik diwarnai kekhawatiran tentang meningkatnya jumlah dosen dan peneliti bergelar profesor di Indonesia. Beberapa kalangan bahkan menyebut fenomena ini sebagai "inflasi profesor"—sebuah istilah yang menyiratkan pembengkakan status akademik tanpa peningkatan kualitas ilmiah. Namun benarkah peningkatan jumlah profesor merupakan ancaman terhadap mutu pendidikan tinggi dan lembaga penelitian?

    Sebelum kita menjatuhkan vonis moral atas kebijakan negara dalam bidang akademik, ada baiknya kita merujuk pada fakta. Per April 2024, jumlah profesor di Indonesia tercatat sebanyak 9.570 orang dari sekitar 330.000 dosen aktif, atau hanya sekitar 2,9% saja1. Angka ini jauh di bawah negara-negara maju: di Jerman proporsinya 15–20%2, di Amerika Serikat 10–15%3, dan di Inggris sekitar 12%4. Maka, alih-alih menyebutnya sebagai inflasi, kita sepatutnya menyadari bahwa Indonesia justru mengalami defisit profesor.


    Kenaikan jumlah profesor di beberapa tahun terakhir tak lepas dari penyederhanaan birokrasi yang selama ini menjadi penghambat utama. Misalnya, Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 dan Keputusan Mendikbudristek Nomor 649/P/2023 tentang Kriteria Penilaian Angka Kredit Jabatan Akademik, memberikan ruang lebih rasional dalam mengapresiasi karya ilmiah, kinerja tridarma, serta capaian akademik lainnya. Namun perlu ditegaskan: penyederhanaan proses bukan berarti penurunan standar.


    Justru, proses pengangkatan profesor kini menjadi lebih transparan dan terukur. Syarat publikasi jurnal bereputasi tetap berlaku, dan verifikasi melalui similarity check, peer review, serta asesmen substansi karya ilmiah dilakukan secara sistemik. Dengan digitalisasi sistem (misalnya melalui aplikasi SISTER Kemendikbudristek dan E-Peneliti BRIN), mekanisme penilaian menjadi lebih akuntabel dan efisien5.


    Adapun tudingan bahwa karya ilmiah profesor banyak ditulis oleh pihak lain secara tidak etis, perlu disikapi hati-hati. Tidak ada bukti sistemik dan terverifikasi yang menunjukkan adanya pelanggaran secara masif. Memang, tekanan untuk publikasi bisa menciptakan pelanggaran etis, tapi itu bukan alasan untuk mencurigai secara general seluruh capaian dosen dan peneliti yang berhasil memenuhi syarat profesor. Di negara lain pun, isu etika akademik tetap menjadi bagian dari pengawasan institusional, bukan alat untuk mendelegitimasi gelar.


    Faktanya, peningkatan jumlah profesor juga dipicu oleh hadirnya berbagai program afirmatif seperti Matching Fund, Kedaireka, BIMA, dan Program World Class Professor yang mendorong kolaborasi riset internasional. Hal ini mengindikasikan bahwa negara mulai serius membenahi ekosistem riset dan publikasi ilmiah. Kinerja para dosen dan peneliti juga meningkat signifikan, terlihat dari kenaikan jumlah publikasi Indonesia di jurnal bereputasi, yang kini berada di peringkat 40 besar dunia6.


    Mengaitkan kenaikan jumlah profesor dengan penurunan kualitas adalah kesimpulan prematur. Justru yang dibutuhkan saat ini adalah konsistensi evaluasi mutu dan penguatan ekosistem akademik. Profesor bukan sekadar gelar, melainkan hasil dari perjalanan panjang seorang dosen & peneliti  dalam pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Mereka layak dihargai, bukan dicurigai.


     

    Referensi:

    1Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDikti), Kemendikbudristek, 2024.

    2Federal Statistical Office of Germany, Academic Staff by Title, 2022.

    3American Association of University Professors (AAUP), Annual Report on the Economic Status of the Profession, 2023.

    4Higher Education Statistics Agency (HESA), UK, 2022.

    5Kemendikbudristek, Sistem Informasi Sumberdaya Terintegrasi (SISTER), 2023.

    6Scimago Journal & Country Rank, 2024 .


    Artikel Selengkapnya...

    Pencarian

    ScienceDaily Biotechnology News

     
    Copyright (c) 2025 |Dr. Rudiyanto, SP., M.Si.|Associate Researcher at Research Center for Applied Botany BRIN, Indonesia