Antara Usaha Warteg dan Tukang Parkir, Mana Yang Lebih Menguntungkan?
Politik dan Panggung Kehidupan: Ketika Politisi Berperan Sebagai Aktor
Kekuatan Sebuah Konsistensi: Dari Satu Paragraf Menuju Sebuah Karya Tulis Ilmiah
Secara perhitungan matematis: 1.01^365
= 37.783
. Angka ini bukan sekadar perhitungan, melainkan simbol sebuah
kekuatan persistensi yakni peningkatan kecil yang terus terakumulasi setiap
hari. Jika kita menaikkan usaha 1% saja setiap hari, maka dalam waktu satu
tahun kita akan mendapatkan hasil 37 kali lipat lebih baik dibandingkan saat
kita memulai sesuatu. Sebaliknya, jika kita tidak melakukan apa-apa, atau malah
sedikit demi sedikit mundur dan inkonsisten, hasil akhirnya bisa sangat jauh
dari yang kita harapkan.
Dapat kita bayangkan, jika seandainya kita dapat menulis satu paragraf saja per
hari. Tidak perlu kalimat yang sempurna. Tidak perlu panjang. Hanya satu
paragraf saja. Maka dalam satu tahun, kita akan memiliki lebih dari 365 paragraf—jumlah
yang cukup untuk menghasilkan lebih dari satu karya tulis ilmiah. Bahkan jika
sebagian besar dari paragraf-paragraf itu nantinya perlu diedit ulang, kita
tetap sudah punya “bahan mentah” untuk kemudian dipoles dan diperbaiki. Dibandingkan
hanya dengan menunggu “inspirasi” atau adanya momen "good mood" untuk
memulai menulis, tindakan kecil ini apabila dilakukan setiap hari akan
jauh lebih berharga.
Pelajaran yang dapat kita petik dari “profound quote” ini adalah: kemajuan
kecil lebih baik daripada tidak ada kemajuan sama sekali. Dalam dunia akademis,
di mana pressure/ tekanan dan beban kerja sering kali membuat kita menunda
untuk menulis, maka filosofi "satu paragraf sehari" adalah bentuk
perlawanan terhadap rasa malas dan sikap perfeksionisme yang dapat melumpuhkan
kreatifitas. Seneca, pernah mengatakan: "While we wait for life, life
passes." ketika kita menunggu waktu ideal untuk mulai, maka kesempatan
pun akan berlalu.
Maka, mari kita mulai hari ini, bukan besok, bukan minggu depan. Tulislah
satu paragraf. Catat satu ide. Baca satu halaman. Jadikan itu kebiasaan. Karena
pada akhirnya, keberhasilan bukan milik mereka yang bergerak cepat sesekali,
tetapi milik mereka yang melangkah kecil namun konsisten setiap hari.
Seperti kata yang tertera dalam ilustrasi gambar di atas: Be
persistent. Jadilah pribadi yang gigih. Karena dari kegigihan itulah, InsyaAllah
akan lahir karya-karya besar.
Jangan Remehkan Hutang: Amanah Dunia, Beban Akhirat
Ini bukan sekadar pesan ekonomi, ini adalah pesan keadilan sosial dan
tanggung jawab moral. Allah yang Maha Mengetahui meletakkan urgensi persoalan
hutang pada tempat yang sangat tinggi. Bukan tanpa sebab. Hutang adalah ujian
akhlak, dan sering kali menjadi sumber keretakan hubungan persaudaraan,
kerusakan masyarakat, bahkan akhirat seseorang.
Lebih mengejutkan lagi, Rasulullah ﷺ menyampaikan bahwa orang yang terbunuh
di medan jihad—yang darahnya tumpah demi agama—tidak serta-merta mendapatkan
status syahid jika ia masih meninggalkan hutang yang belum diselesaikan.
“Seluruh dosa orang yang mati syahid akan diampuni kecuali hutang.” (HR.
Muslim)
Maka pertanyaannya: mengapa ada sebagian orang, bahkan tokoh agama yang kita
pandang sebagai ustadz dan panutan umat, begitu meremehkan urusan hutang? Bahkan
dengan entengnya berkata, "Itu hanya masalah
duniawi, masalah hutang,...ngemplang, jadi tidak perlu untuk dibesar-besarkan"
Masalah duniawi? Jika memang demikian, mengapa Allah harus turunkan satu
ayat terpanjang hanya untuk perkara duniawi? Mengapa Rasulullah sampai enggan
menyolatkan jenazah orang yang masih menanggung hutang, jika tidak ada dimensi
akhirat di dalamnya?
Di sinilah letak keprihatinan. Ketika orang awam tidak tahu, mungkin bisa
dimaklumi. Tapi ketika seorang ustadz—yang setiap kata dan geraknya menjadi
contoh, bahkan rujukan umat—meremehkan hal sebesar ini, maka itu adalah sebuah petaka
dan krisis. Krisis keilmuan? Krisis kejujuran? Atau krisis akhlak?
Perkataan seperti itu bukan saja mencederai ajaran Islam, tapi juga bisa
menjadi pembenaran bagi orang-orang yang memang punya kecenderungan untuk lari
dari tanggung jawab. Orang yang memang berniat ngemplang, bisa dengan mudah
berkata: “Ah, itu kan cuma masalah duniawi.”
Padahal dalam Islam, tanggung jawab dunia justru yang akan menentukan nasib
akhirat. Apakah tidak takut bahwa ucapan yang menyepelekan bisa membuat umat
terbiasa menggampangkan amanah?
Sudah saatnya kita kembali menempatkan nilai-nilai Al-Qur'an pada posisi
tertingginya. Bukan hanya dalam ibadah, tapi juga dalam muamalah. Dan sudah
seharusnya para tokoh agama berhati-hati dalam berbicara, karena satu kalimat
bisa jadi pembenaran bagi ribuan kesalahan.
Islam mengajarkan kita kejujuran, tanggung jawab, dan keadilan—termasuk
dalam hal hutang piutang. Jangan sampai, hanya karena satu komentar tak
bertanggung jawab, kita menjadi umat yang membenarkan kelalaian, bahkan
pengkhianatan, dengan label "itu cuma masalah duniawi."
Hakikat Tumbuh: Bukan Soal Tempat, Tapi Keberanian
Pohon yang terlalu lama hidup di bawah bayang-bayang, tanpa cukup sinar
matahari, akan mengalami etiolasi—tumbuh tinggi kurus, lemah, pucat, dan rapuh.
Dalam dunia tumbuhan, ini adalah pertanda bahwa sesuatu berjalan tidak
semestinya. Dalam kehidupan manusia, etiolasi bisa menyerupai hidup dalam zona
nyaman: aman, tak terlihat, tak terdengar, tapi juga tak berkembang. Takut
mencoba, takut gagal, takut salah—hingga akhirnya justru dilangkahi, dilewati,
bahkan diinjak-injak oleh mereka yang berani menantang angin.
Hidup bukan soal ingin di atas atau di bawah. Bukan pula soal siapa yang
lebih berani atau lebih diam. Tapi hidup adalah soal keberanian untuk
memilih—dan menerima konsekuensi dari pilihan itu. Karena, benar adanya, setiap
posisi punya risikonya masing-masing. Di atas, kau diuji oleh badai, disorot,
dinilai, bahkan mungkin dijatuhkan. Tapi di bawah pun bukan tempat yang bebas
dari risiko. Kegelapan, stagnasi, dan kerentanan pada nasib juga siap mengintai
kapan saja.
Ini tentang kita—tentang manusia dan pilihan untuk tumbuh. Kita bisa memilih
menjadi tinggi dan menghadapi angin, atau tetap di bawah dan berharap tak
tertimpa apa-apa. Tapi, kalau pertumbuhan sejati adalah tujuan, maka sedikit
goyangan angin semestinya bukan alasan untuk berhenti naik. Karena justru dalam
terpaan itulah, akar kita menguat. Dalam cahaya yang menyilaukan itu, kita
belajar melihat lebih jelas. Dan dalam keberanian untuk tampak, kita menemukan
makna dari eksistensi kita.
Setiap orang punya jalan masing-masing. Tak semua harus menjadi pohon tertinggi. Tapi jika terus bersembunyi di tanah lembap yang tak tersentuh cahaya, jangan heran jika suatu hari kita tak tumbuh sama sekali. Dan lebih buruk lagi, mungkin kita bahkan tak pernah benar-benar hidup.
Inflasi Gelar Profesor: Mitos atau Kesalahpahaman?
Sebelum kita menjatuhkan vonis
moral atas kebijakan negara dalam bidang akademik, ada baiknya kita merujuk
pada fakta. Per April 2024, jumlah profesor di Indonesia tercatat sebanyak
9.570 orang dari sekitar 330.000 dosen aktif, atau hanya sekitar 2,9% saja1.
Angka ini jauh di bawah negara-negara maju: di Jerman proporsinya 15–20%2,
di Amerika Serikat 10–15%3, dan di Inggris sekitar 12%4.
Maka, alih-alih menyebutnya sebagai inflasi, kita sepatutnya menyadari bahwa
Indonesia justru mengalami defisit profesor.
Kenaikan jumlah profesor di
beberapa tahun terakhir tak lepas dari penyederhanaan birokrasi yang selama ini
menjadi penghambat utama. Misalnya, Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 dan
Keputusan Mendikbudristek Nomor 649/P/2023 tentang Kriteria Penilaian Angka
Kredit Jabatan Akademik, memberikan ruang lebih rasional dalam mengapresiasi
karya ilmiah, kinerja tridarma, serta capaian akademik lainnya. Namun perlu
ditegaskan: penyederhanaan proses bukan berarti penurunan standar.
Justru, proses pengangkatan
profesor kini menjadi lebih transparan dan terukur. Syarat publikasi jurnal
bereputasi tetap berlaku, dan verifikasi melalui similarity check, peer review,
serta asesmen substansi karya ilmiah dilakukan secara sistemik. Dengan
digitalisasi sistem (misalnya melalui aplikasi SISTER Kemendikbudristek dan E-Peneliti BRIN),
mekanisme penilaian menjadi lebih akuntabel dan efisien5.
Adapun tudingan bahwa karya
ilmiah profesor banyak ditulis oleh pihak lain secara tidak etis, perlu
disikapi hati-hati. Tidak ada bukti sistemik dan terverifikasi yang menunjukkan adanya pelanggaran secara masif. Memang, tekanan untuk publikasi bisa menciptakan pelanggaran etis, tapi itu bukan alasan untuk mencurigai secara general seluruh capaian
dosen dan peneliti yang berhasil memenuhi syarat profesor. Di negara lain pun, isu etika
akademik tetap menjadi bagian dari pengawasan institusional, bukan alat untuk
mendelegitimasi gelar.
Faktanya, peningkatan jumlah
profesor juga dipicu oleh hadirnya berbagai program afirmatif seperti Matching
Fund, Kedaireka, BIMA, dan Program World Class Professor yang mendorong
kolaborasi riset internasional. Hal ini mengindikasikan bahwa negara mulai serius
membenahi ekosistem riset dan publikasi ilmiah. Kinerja para dosen dan peneliti juga
meningkat signifikan, terlihat dari kenaikan jumlah publikasi Indonesia di
jurnal bereputasi, yang kini berada di peringkat 40 besar dunia6.
Mengaitkan kenaikan jumlah profesor dengan penurunan kualitas adalah kesimpulan prematur. Justru yang dibutuhkan saat ini adalah konsistensi evaluasi mutu dan penguatan ekosistem akademik. Profesor bukan sekadar gelar, melainkan hasil dari perjalanan panjang seorang dosen & peneliti dalam pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Mereka layak dihargai, bukan dicurigai.
Referensi:
1Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDikti), Kemendikbudristek, 2024.
2Federal Statistical Office of Germany, Academic Staff by Title, 2022.
3American Association of University Professors
(AAUP), Annual Report on the Economic Status of the Profession, 2023.
4Higher Education Statistics Agency (HESA), UK,
2022.
5Kemendikbudristek, Sistem Informasi Sumberdaya
Terintegrasi (SISTER), 2023.
6Scimago Journal & Country Rank, 2024 .